Jumat, 26 Oktober 2012

Review The Avenger (2012)


Bruce Banner : “We’re Not a team, We’re a Time Bomb”

            4 Mei 2012, menjadi tanggal yang sangat ditunggu-tunggu oleh para penggemar film, terutama bagi para pencinta film bergenre superhero. Bagaimana tidak? Tuntas sudah penantian mereka untuk menyaksikan gerombolan Superhero marvel beraksi dalam satu frame film, The Avengers. The Avengers yang disebut-sebut sebagai proyek film paling ambisius sepanjang sejarah ini sukses menjadi dalang di balik antrian panjang yang membludak di setiap bioskop, mengambil alih semua studio dan menimbulkan histeria di antara penontonnya.


            The Avenger merupakan gambaran utuh dari kepingan-kepingan puzzle yang sudah disebar Marvel di lima film solo Superheronya yaitu Iron Man dan The Incredible Hulk di tahun 2008, Iron Man 2 di tahun 2010, serta Thor dan Captain America : The First Avenger di tahun 2011. Jika anda memperhatikan di kelima film tersebut, setelah credit title akan ada sebuah adegan berdurasi singkat yang akan menunjukkan film superhero marvel selanjutnya, dan tentu saja petunjuk untuk pembentukan The Avenger. Di The Avenger kita akan bertemu lagi dengan Superhero-superhero yang telah dikumpulkan oleh Direktur S.H.I.E.L.D, Nick Fury (Samuel L. Jackson) seperti Tony Stark a.k.a Iron Man (Robert Downey Jr.), Steve Roger a.k.a Captain America (Steve Rogers), Bruce Banner a.k.a Hulk (Mark Ruffalo), Thor (Chris Hemsorth), tidak ketinggalan dua agen Shield yaitu Natasha Romanoff alias Black Widow (Scarlett Johansson), dan Clint Barton alias Hawkeye (Jeremy Renner). Bersama mereka akan bahu membahu menghentikan saudara tiri Thor, Loki (Tom Hiddlestone) dalam usahanya untuk menghancurkan bumi beserta pasukan aliennya, The Chitauri.


            Tentu tidak mudah menggabungkan para Superhero-Superhero ini, terlebih karakter mereka sudah begitu kuat lewat film-film solo mereka. Untung Marvel menunjuk orang yang tepat untuk menyutradarai film ini, adalah Joss Whedon seorang penggemar sejati komik-komik buatan marvel yang tahu benar cara mengendalikan situasi seperti ini. Whedon yang selain sutradara juga merangkap sebagai penulis naskah ini telah berhasil menampilkan semua superhero dalam porsi yang berimbang, lengkap dengan dinamika yang ditimbulkan oleh ego-ego dalam diri masing-masing superhero. Para manusia biasa di film ini macam Hawkeye dan Black Widow juga mampu mencuri perhatian dan mendapat jatah tampil yang lumayan banyak. Mark Ruffalo yang berperan sebagai Hulk di luar dugaan mampu tampil apik dan menurut saya, Ruffalo lebih baik dari Eric Bana maupun Edward Norton yang memerankan Hulk di dua film solonya.  Di pihak villain, Tom Hiddlestone yang memerankan loki tampil cukup baik menebar terror dengan penampilan dinginnya. Walaupun, menurut saya Loki yang ditampilkan Hiddlestone, masih terlalu lemah baik dari segi karisma maupun kekuatan untuk berhadapan dengan World Migthiest Superheroes macam The Avengers.
            Tapi tidak bisa dipungkiri, Tony Stark lah yang paling mempesona di film ini, lewat karakter kurang ajar dan lelucon-lelucon sarkastik yang acap kali memancing gelak tawa penonton. Tony Stark alias Robert Downey Jr. berhasil memimpin film ini, walaupun di beberapa adegan ia juga mau mendengarkan perintah dari Captain America. 


            Memang sejak awal The Avenger dibuat untuk menghibur segala kalangan sehingga wajar saja kalau film nya terasa ringan. Mungkin banyak penonton dewasa yang mengharapkan cerita nya berat seperti The Dark Knight akan kecewa, saya termasuk di antarnya. Tapi kalau saya pikir-pikir lagi tidak semua film Superhero harus sekelam The Dark Knight kan? The Avenger membuktikan bahwa dengan tema ringan sekalipun tetap mampu menghibur para penonton. The Avenger boleh dikata sudah berhasil memenuhi ekspektasi para penontonnya dan sudah barang tentu menjadi salah satu film terbaik di tahun 2012 ini.   

Review Inception (2010)


Cobb: ” What’s the most resilient parasite? An Idea. A single idea from the human mind can build cities. An idea can transform the world and rewrite all the rules. Which is why I have to steal it “


            Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) adalah seorang pencuri professional, namun tidak seperti pencuri pada umumnya yang mencuri barang-barang berharga secara langsung, Cobb melakukannya melalui media mimpi. Pekerjaan Cobb ini disebut dengan “ekstraktor”, melalui mimpi Cobb dapat mencuri ide, rahasia ataupun pemikiran seseorang melalui alam bawah sadarnya yang sudah di rekayasa sedemikian rupa.
            Dalam misi terbarunya Cobb diperintahkan untuk mencuri rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam pikiran seorang pengusaha kaya raya, Saito (Ken Watanabe) tapi sayang Cobb gagal melaksanakan misinya tersebut. Namun, Saito yang terkesan dengan kemampuan Cobb malah memperkerjakannya dalam sebuah misi besar, yaitu melakukan Inception kepada saingan bisnisnya, Robert Fischer Jr. (Cillian Murphy). Berbeda dengan Extraction yang selama ini dilakukan Cobb, Inception adalah proses penanaman ide atau gagasan dalam pemikiran korbannya, agar nantinya ketika sang korban sadar nanti ia akan bertindak sesuai dengan ide yang telah ditanamkan ke pemikirannya itu.  Melakukan Inception tentu bukan suatu hal yang mudah, bahkan orang sekaliber Cobb baru sekali melakukannya. Agar misinya berjalan sesuai rencana Cobb membentuk sebuah tim yang terdiri dari Arthur (Joseph Gordon-Levitt) yang bertugas menyelidiki target, Eames (Tom Hardy) seorang ahli dalam bidang menyamar di dunia mimpi, Ariadne (Ellen Page) yang bertugas merekonsturksi dunia mimpi, dan Yusuf (Dileep Rao), ahli kimia yang mampu meramu obat tidur berdosis tinggi.


            Dirilis tahun 2010, pada mulanya, saya sama sekali tidak tertarik menonton Inception, walaupun sudah banyak sekali puja puji yang saya dengar tentang film ini, baik dari teman, TV, maupun majalah. Maklum pada waktu itu saya belum hobi menonton film yang memeras pikiran seperti Inception, saya lebih suka menonton film-film mainstream yang ringan dan enak ditonton tanpa perlu bersusah-susah berpikir. Tapi begitu tahu bahwa yang menyutradarai Inception adalah Christopher Nolan, orang yang juga menyutradarai Film Favorit saya, The  Dark Knight. Tanpa tunda-tunda lagi saya langsung meminjam DVD-nya, di toko rental DVD langganan saya. Ini adalah pertama kalinya saya menonton film karena faktor Sutradara nya. Karena biasanya saya menonton film kalau ga liat ceritanya, ya karena faktor actor atau aktrisnya yang bermain dalam film tersebut.
            Oke, balik ke Inception. Memang idenya tidak baru, konsep pertempuran di alam bawah sadar dan kebingungan yang mana mimpi dan yang mana alam nyata sudah pernah di angkat ke Layar lebar lewat The Matrix dan Total Recall, namun Christopher Nolan berhasil mengemas ide lama tersebut menjadi sebuah sajian berkualitas tinggi. Dengan Plot yang kuat, dan efek-efek yang pas membuat saya sangat terpesona ketika menonton Inception. Salah satu adegan yang tidak bisa saya lupakan adalah pertarungan “anti-gravity” antara Arthur dan Pasukan penjaga keamanan Fischer. Rasanya baru kali itu saya menonton adegan pertarungan yang seperti itu. Benar-benar baru dan mempesona.


            Durasinya memang cukup lama 148 menit, tapi Nolan tidak membiarkan kita bosan menonton Inception. Kita perlahan-lahan akan di ajak ke dunia mimpi versi Nolan yang mungkin dengan segala penjelasan di awal film, membuatnya terdengar masuk akal dan logis, namun digambarkan dengan cara yang spektakuler, unik dan indah. Jangan lupakan pula iringan musik latar dari composer favorit Nolan, Hans Zimmer yang membuat setiap adegan membuat emosi para penontonnya bergejolak. Ending-nya pun sangat berkelas, sebuah open ending yang amat bagus namun juga menyisakan sebuah pertanyaan di benak para penontonnya.
            Meskipun masih kalah bagus dari The Dark Knight, tapi Inception sukses memukau saya, dari cerita maupun action saya sangat puas. Dan tidak diragukan lagi, Christopher Nolan menjadi sutradara Favorit saya, yang mana membangkitkan minat saya untuk menonton film-film garapannya yang lain.

Last Inning (Manga)


LAST INNING
Pengarang                : Kamio Ryu
                                    Katou Kiyoshi
Genre                       : Sports
No. of Volumes        : 30 (On Going) 15 (Di Indonesia)
               
                Sebagai Negara yang menganggap Baseball sebagai salah satu olahraga terpopuler cukup wajar jika banyak manga-manga Jepang yang mengangkat Baseball sebagai topik utamanya. Sebut saja H2, Mr. Fullswing, dan yang paling terkenal The Pitcher. Tapi kali ini saya akan coba membahas Manga tentang Baseball yang menurut saya agak berbeda jika di bandingkan dengan Manga Baseball yang lain, yaitu Last Inning.

 
            Ringkasan ceritanya kira-kira begini, Keisuke Hatogaya adalah seorang mantan pemain Baseball SMU yang cukup berbakat. Sayang karena temperamennya yang buruk ia terlibat dalam kasus pemukulan wasit, yang mengakibatkan dirinya depresi dan tidak mau lagi terlibat dalam dunia Baseball SMU. Setelah dewasa, ia malah menjadi sales yang menjual barang-barang kesehatan yang sebenarnya biasa saja, tetapi berkat mulut manisnya barang tersebut jadi berharga mahal. Singkatnya, sekarang Keisuke menjadi seorang penipu. Tapi tidak lama kemudian, perbuatan jahat Keisuke tercium oleh Pihak yang berwajib, ia pun di tangkap dan terancam dijebloskan ke Penjara. Beruntung, Pelatihnya waktu di SMU mengetahui hal ini, dan bersedia membayar jaminan agar Keisuke bebas dari Penjara.


            Ternyata sang Pelatih kini menjadi Kepala Sekolah SMU Saigaku, SMU almameter Keisuke. Sang Pelatih bersedia membayar Jaminan Keisuke asal Keisuke bersedia menjadi pelatih di SMU Saigaku, awalnya Keisuke menolak tapi karena ia tidak punya pilihan lain selain mendekam di penjara akhirnya ia pun bersedia. Ternyata Kondisi klub Baseball SMU Saigaku cukup memprihatinkan, SMU yang waktu di masa-masa Keisuke aktif menjadi SMU yang cukup disegani karena  baseball nya kini hanya menjadi SMU yang selalu kalah di pertandingan pertama. Gawatnya lagi, jika tidak mampu berprestasi tahun ini maka Klub Baseball SMU Saigaku akan dibubarkan, sehingga Keisuke hanya di beri waktu satu tahun untuk membuat Klub Baseball SMU Saigaku kembali disegani.
            Walaupun lagi-lagi mengangkat tema Baseball SMU tapi premisnya menarik, maka dari itu saya tertarik untuk membacanya. Sang pengarang sengaja membuat Last Inning se-real mungkin baik dari segi cerita maupun art. Karena itu jangan harap anda akan menemukan aksi-aksi spektakuler nan lebay ala Captain Tsubasa atau Inazuma eleven yang biasanya ada di komik-komik olahraga yang lain. Menggunakan sudut pandang pelatih, pertandingan-pertandingan yang ada di komik ini tidak ditampilkan secara full, hanya menampilkan kejadian-kejadian pentingnya saja sehingga jangan heran satu pertandingan cukup dengan satu buku bahkan kurang, hal ini tentu berbeda dengan komik bertema Baseball lain yang menampilkan jalannya satu pertandingan dengan 3 atau 4 jilid buku.  Melalui Last Inning, kita jadi mengetahui bahwa untuk membuat sebuah tim hebat tidak cukup hanya dengan modal semangat juang dan kerja sama tim, tetapi Harus dengan latihan tidak kenal lelah, metode latihan yang jelas dan data. Keisuke dengan metode-metode nya yang nyeleneh dan sangat mementingkan data ternyata bisa membuat SMU Saigaku yang hanya mempunyai 2 atau 3 pemain bagus menadi tim yang hebat dengan kerja sama solid.


            Diterbitkan oleh Level Comics, anak perusahaan dari Elex Media Computindo yang mengkhususkan untuk menerbitkan komik-komik bergenre Dewasa, jelas Last Inning bukan bacaan anak-anak. Walaupun menurut saya tidak ada adegan sex ataupun kekerasan yang berlebihan di komik ini, tapi cerita yang cukup rumitlah yang membuat komik ini diberi rating Dewasa. Sejauh ini saya sudah membaca 15 volume Last Inning, dan bisa dibilang saya cukup enjoy membacanya. Menyenangkan melihat Baseball dari perspektif lain, saya juga mendapat banyak pengetahuan tentang Baseball dari komik ini. Jika anda bosan dengan komik baseball yang temanya berkisar itu-itu saja, Last Inning bisa menjadi alternatif yang bagus.

Minggu, 07 Oktober 2012

Review Crazy, Stupid, Love (2011)


Jacob: ” I’m going to help you rediscover your manhood. 
Do you have any idea where you could have lost it? “


          Hmm… Bagaimana saya menjelaskan tentang film ini?? Jadi begini, sang suami Cal Weaver (Steve Carell) yang baru saja mengetahui bahwa istirnya Emily ( Julianne Moore) berselingkuh dan meminta cerai, sementara putra mereka berdua Robbie (Jonah Bobo) jatuh cinta pada Baby-sitter nya sendiri Jessica Riley (Analeigh Tipton), sedangkan Jessica sebenarnya jatuh cinta pada Cal. Gila? Tenang, ini baru separuh kegilaan dari film ini karena nantinya masih banyak hal-hal gila dan mengejutkan seperti seorang playboy bernama Jacob Black (Ryan Gosling) melatih Cal untuk menemukan kembali kejantanannya atau Hannah (Emma Stone) seorang gadis kekanakan yang berharap akan dilamar kekasih nya akan melamrnya.
           


            Tema nya memang terdengar menarik tapi dengan begitu banyak kisah dan karakter, apakah film yang disutradarai oleh Glenn Ficara dan John Requa ini lantas menjadikan Crazy, Stupid, Love menjadi film yang rumit? Tenang saja namanya juga film komedi romantis, tidak seharusnya ia menjadi rumit. Sang penulis skenario tahu benar cara menyatukan banyaknya kisah dan karakter dalam film ini menjadi sebuah cerita yang sangat menarik dan sedap untuk ditonton. Crazy, Stupid, Love bukanlah sebuah film komedi dewasa yang kelewat jorok dan kurang ajar, ia tetap masih berada dalam kategori komedi romantis yang manis dengan cinta dan penuh dengan pesan moral. Belum lagi, nama-nama besar yang menggawangi jajaran cast nya, perpaduan antara senior-junior yang melakukan kolaborasi dengan baik. Walaupun, tidak setiap cast-nya mendapat porsi yang seimbang. Di satu sisi Steve Carell begitu mendominasi, sedangkan Emma Stone hanya terlihat mempesona ketika ia berkencan dengan Jacob pada malam yang romantis itu.



            Senang rasanya menonton Crazy, Stupid, Love yang mana selain lucu juga romantis dan mengandung pesan moral yang kuat. Jelas merupakan salah satu drama komedi romantis terbaik belakangan ini.

            

Kamis, 04 Oktober 2012

Review (500) Days Of Summer


       Tom: ” I love her smile. I love her hair. I love her knees. I love how she licks her lips before she talks. I love her heart-shaped birthmark on her neck. I love it when she sleeps “


            Jujur saja, ada berapa banyak dari anda (khususnya pria) yang telah menjalin hubungan dengan seseorang tetapi status hubungan anda dengannya tidak jelas?? Dibilang pacaran tidak, tapi dibilang teman biasa pun tidak. Istilahnya status hubungan anda menjadi tidak jelas atau bahasa kerennya HTS (Hubungan Tanpa Status). Tema inilah yang coba di angkat sebuah film independen yang rilis tahun 2009 lalu, (500) Days Of Summer.

            Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) adalah seorang pria yang bercita-cita menjadi arsitek, tapi kenyataannya Ia malah bekerja sebagai penulis kartu ucapan, sejak kecil Tom tumbuh dengan memegang teguh kepercayaannya yaitu ia takkan pernah bisa hidup bahagia sampai ia bertemu dengan belahan jiwanya. Di suatu musim semi yang indah, Tom bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Summer Finn (Zooey Deschanel), dan pada saat itulah Tom merasa bahwa wanita inilah yang ia cari-cari selama ini. Celakanya prinsip Summer kebalikan dari Tom. Summer sama sekali tidak percaya apa itu cinta, semuanya tidak lepas dari pengaruh perceraian orang tuanya pada saat ia masih kecil. Jadi, bagi Summer tidak ada yang namanya istilah “pacar” atau “komitmen”, baginya hubungan yang ia jalani dengan pria-pria selama ini hanyalah hubungan pertemanan biasa yang dapat dengan mudah dapat ia “cut” kapan saja tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun.



            Walaupun tahu sifat Summer seperti itu, tapi Tom tetap mau menjalin hubungan dengan nya. Jadilah mereka berdua menjadi sepasang TTM tapi lebih mesra daripada sepasang kekasih. Mulanya Tom oke-oke saja dengan hubungan seperti itu, tapi lama kelamaan ia tidak tahan juga. Di tambah mendapati menghadapi sifat Summer yang moody apalagi Summer juga mulai menjalin hubungan dengan pria lain. Akhirnya Tom pun naik pitam dan meminta kejelasan hubungan mereka saat ini ( I know that feel bro…).

            Menonton (500) Days Of Summer boleh dibilang sebagai sebuah pengalaman menonton yang sangat mengasyikkan. Tema nya bisa dibilang simple, tapi cara eksekusinya sangat bagus dan tidak biasa. Editing-Editing kreatif, plot yang maju-mundur, dan gaya naratif sukses menjadikan film ini tampil beda dari kebanyakan film komedi romantis pada umumnya. Bukan hanya kualitas, film ini juga sukses secara komersil. Di mana dengan hanya modal sebanyak 7.5 Juta Dolar, film ini sanggup menghasilkan pendapatan nyaris 10 kali lipat.

            Di tambah lagi apa yang disajikan di film ini, rasanya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari Bisa dibilang hampir semua pria pernah merasakan pengalaman bagaimana indahnya jatuh cinta, bagaimana pahitnya di putus oleh kekasih, bagaimana rasanya menjalani hari-hari penuh penderitaan tanpa kehadiran si dia, dan bagaimana jika wanita yang kita taksir selama ini ternyata hanya menganggap hubungan yang selama ini dibangun hanya sebatas sahabat, walaupun tindakannya sendiri terkadang melebihi dari seorang sahabat. Semua konflik-konfilik tersebut mampu dihadirkan dengan apik yang membuat kita tersenyum atau bahkan tertawa melihat hubungan TTM antara Tom dan Summer.

            Aplaus pantas diberikan pada dua pemerean utamanya. Joseph-Gordon Levitt dan Zooey Deschannel yang tampaknya benar-benar menikmati peran mereka dalam film ini  sebagai pasangan TTM yang serasi. Sangat menyenangkan melihat mereka berdua berinteraksi satu sama lain, chemistry antara keduanya juga sangat natural tanpa dibuat-buat sama sekali.

            Overall, (500) Days Of Summer jelas bukan film yang boleh kita lewatkan begitu saja, khususnya bagi para pencinta film bergenre Komedi-Romantis.